Haji Bagaikan Napak Tilas Kematian

 on 19 July 2016  

Ceramahsingkat. Islam dibangun di atas lima pilar dasar yang saling berkaitan antara pilar satu dengan pilar lainnya hingga membentuk sebuah bangunan keagamaan yang kokoh lagi indah, lima pilar tersebut disebut dalam sebuah hadits yang tak asing lagi di ruang dengar kita, sebagaimana hadits Rasul saw.
عن أبي عبدالرحمن عبدالله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((بني الإسلام على خمسٍ: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وحج البيت، وصوم رمضان))؛ رواه البخاري ومسلمٌ
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin al-Khaththab ra, ia mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Sekilas kita baca dari urutannya, haji lebih didahulukan daripada puasa, hal itu tidak menunjukkan bahwa haji harus didahulukan daripada puasa, karena pada kenyataannya kewajiban melaksanakan ibadah puasa lebih dulu daripada perintah wajibnya haji bagi yang mampu.

Ibadah haji adalah perjalanan yang wajib dilakukan oleh setiap orang mukmin yang mampu, mampu dalam hal ekonomi, kesehatan dan aman dalam perjalanannya, melaksanakan ibadah haji merupakan salah satu pilar agama penyempurna, bila syahada adalah pondasi dasarnya, kemudian sholat adalah tiang agama, zakat sebagai jendela, puasa sebagai pagernya, tapi haji diumpamakan sebagai atap bangunan agama yang telah kita bangun. Orang yang mempunyai harta belimpah, mobil dan kendaraan mewah, pagar yang rapat tetap saja akan terancam oleh cuaca apabila tidak ada atapnya, begitu pula dengan orang yang mampu tetapi tidak melaksanaka ibadah haji, kehidupannya akan terancam dari serangan prilaku setan dan akan rusak apa yang telah dikumpulkan

Makna lain dari haji adalah, sebagai perjalanan kematian yang wajib dilakukan oleh setiap orang baik dalam kondisi senang maupun terpaksa. Ada perenungan yang menarik yang disampaikan oleh Imam Ghazali, pada saat berpisah dengan sanak famili dan keluarga, seolah olah kita menghadapi sakaratul maut, berpamitan kesana kemari dan memohon iringan doa dari keluarga, ia juga meninggalkan semua harta yang selama ini ia kumpulkan dan menemani sepanjang hari dalam hidupnya.

Pada saat keluar dari negerinya, menuju ke tanah suci ia naik pesawat atau kendaraan lain bagaikan naik peti jenazah, pasrah tidak ada yang bisa membantu kecuali dirinya sendiri, semua keluarga tidak bisa mengikutinya secara bebas, hanya isak tangis dan hati pilu saat berpisah dengannya. Barang bawaan yang ia bawa bagaikan bekal untuk menghadap kepada Allah, pengetahuan pada saat manasik adalah modal pentinga dalam beribadah.

Setelah sampai tanah yang kita tuju, entah Birali atau Jeddah, kemudian bersiap memakai baju ihram, serba putih yang tak berjahit, terasa sekali hidmahnya kepada Allah, seolah bagaikan mayat yang dimasukkan di liang lahat, dan semakin dekat terasa akhirat pada saat itu, begitu kendaraan berjalan menuju arafah, seolah kita dibangkitkan kembali oleh Allah, dalam keadaan yang sama sama khusyu’ dan tidak ada suara semaunya atau canda tawa, semua hanya bisa mengandalkan doa dan ampunan sesuai dengan yang ia dapatkan pada saat di negaranya masing masing.

Tentaunya hal ini tidak hanya berlaku untuk ibadah haji melainkan berlaku untuk ibadah ibadah lainnya.



J-Theme